Minggu, 06 Maret 2016

Konsep Riba

KONSEP RIBA
PENGERTIAN, DASAR HUKUM, MACAM-MACAM, DAN AKIBAT
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah yang dibimbing oleh dosen : Dr. Iwan Setiawan, S.Ag., M.Pd., M.E.Sy.
Description: C:\Users\Sendi\Downloads\Logo UIN Bandung.png
Oleh:
Mery Nugrahani                   1143070135
Muhammad Munir               1143070150
Nur Azani Irawan                 1143070162
Rani Mulyani                         1143070176
JURUSAN MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga terlimpah curah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jalan kegelapan menuju kebenaran untuk keselamatan kita sebagai umat di dunia. Judul makalah ini adalah Konsep Riba (Pengertian, Dasar Hukum, Macam-macam, dan Akibat).
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Fiqh Muamalah pada program studi Manajemen Keuangan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu selama proses penulisan makalah ini. Terutama kepada dosen pembimbing mata kuliah Fiqh Muamalah, Dr. Iwan Setiawan, S.Ag., M.Pd., M.E.Sy., atas bimbingannya sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, serta menambah wawasan dan pemahaman mengenai riba serta penjelasannya secara mendetail.
Bandung,    November 2015
Penulis




BAB  I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Sejak akhir tahun 1960-an, perbincangan mengenai larangan riba di dalam  bunga bank konvensional semakin memanas. Setidaknya ada dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba. Pendapat pertama berasal dari mayoritas ulama dan intrepertasi para fuqaha tentang riba sebagaimana yang tertuang dalam ilmu fiqih. Pendapat lainnya mengatakan bahwa larangan riba dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adanya upaya eksploitasi yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat.  Ada juga  kalangan yang mengatakan bahwa riba yang dilarang itu hanyalah riba yang berlipat ganda saja. Sedangkan riba yang sedikit tidak dilarang.
Al-Qur’an merupakan sumber penggalian dan pengembangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Untuk melakukan penggalian dan pengembangan pemahaman Ayat-ayat Al-Qur’an, diperlukan kemampuan tertentu guna menghasilkan pemahaman yang baik mengenai berbagai perilaku kehidupan manusai, termasuk dalam bidang ekonomi. Pengembangan ilmu ekonomi al-Qur’an pada dasarnya mempunyai peluang yang sama dengan pengembangan ilmu-ilmu lain dalam tradisi keilmuan Islam. Sayangnya, sebagai suatu disiplin ilmu, ilmu ekonomi al-Qur’an belum berkembang pesat seperti pada bidang ilmu Fiqh. Padahal kebutuhan terhadap ilmu ini dirasakan sudah mendesak, sehubungan kegagalan ilmu ekonomi modern/konvensional dalam merealisasikan pembangunan dan kemaslahatan masyarakat.
Sebagai rumusan dalam makalah ini yang tertera di bawah, kami ingin menyampaikan secara lebih mendalam untuk lebih memahami dan lebih fokus pada pembahasannya. Maka dari itu, ada beberapa hal yang dipaparkan dalam makalah ini yakni penjelasan mengenai riba, ayat al-Quran yang berkaitan disertai ilmu-ilmu al-Qurannya, serta pengambilan beberapa hadits Rasul yang kemudian akan kami berikan penjelasannya.Oleh karena itu, kami selaku penulisakan mencoba menjelaskan dan memaparkannya dalam makalah ini.

B.      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dari makalah ini adalahsebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan riba?
2.      Apa ayat al-Quran dan Hadits Rasul yang mendasari hukum riba?
3.      Apa saja macam-macam riba?
4.      Apa akibat yang ditimbulkan dari bertransaksi secara riba?

C.     Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini diuraikan sebagai berikut:
1.        Untuk mendapatkan pengetahuan mengenai riba serta penjelasannya;
2.        Untuk mengetahui ayat al-Quran dan hadits Rasul yang mendasari hukum riba;
3.        Untuk mengetahui macam-macam riba;
4.        Untuk mendasari diri dengan pengetahuan akan akibat yang ditimbulkan dari transaksi secara riba.



BAB  II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Riba

Di bidang transaksi ekonomi, Islam melarang keras praktik riba. Al-Dhahabi dalam kitab Al-Kabair menjadikan riba sebagai salah satu perilaku dosa besar yang harus dijauhi. Secara sederhana riba berarti menggandakan uang yang dipinjamkan atau dihutangkan pada seseorang.
Islam sebagai agama sempurna tentunya mengatur segala macam aktivitas kehiudpan manusia, seperti aktivitas perekonomian, yaitu bagaimana Islam menghendaki agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang berduit (kaya), juga Islam menghendaki untuk tidak saling memakan harta orang lain dengan cara bathil. Diantara bentuk kebathilan memakan harta orang lain adalah riba.
Secara etimologis, riba berasal dari bahasa arab, isim masdar dari kata rabaa-yarbuu. Asal arti kata riba adalah ziyadah yakni tambahan atau kelebihan. Secara terminologis (istilah) riba adalah setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan nilai-tandingnya (Adiwarman, 2004: 36).
Ibnu al-‘Arabi al-Maliki dalam kitabnya Abkam al-Quran menjelaskan riba sebagai berikut:
“Riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud adalah penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan.”
Adapun  yang dimaksud transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai,sewa atau bagi hasil proyek. Misalnya, jika A meminjam uang sebesar sepuluh juta rupiah kemudian digunakan unntuk modal usaha dan mendapatkan laba (keuntungan), maka peminjam boleh mengembalikan hutangnya itu lebih dari sepuluh juta. Kelebihan tersebut bukan disebut riba, tetapi jika sepuluh juta itu tidak digunakan untuk usaha, kemudian peminjam membayar lebih dari hutangnya itu terlebih jika mu’ir (pemberi pinjaman) menuntut dibayar lebih dari hutangnya (bunganya) maka yang demikian itu disebut riba. Karena tidak adanya transaksi pengganti atau penyeimbang.
Menurut Al-Mali, yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya.
Menurut Abduurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertenu, tiddak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.
Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh  orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena peguduran janji pembayaran oelh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.

B.      Sebab-sebab Haramnya Riba

Sebab-sebab riba diharamkan ada banyak. Berikut ini rincian sebab-sebab tersebut.
1.        Karena Allah dan Rasul-Nya melarang atau mengharamkannya, firman Allah SWT :
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah: 275)
وَاَخْذِهِمُ الرِّبَوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ
“Dan disebabkan mereka memakan riba, kami haramkan kepada mereka untuk mengambil, memakan, dan memanfaatkan barang riba.”
(QS. An-Nisa: 161)
2.        Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya, seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp10.000,00 dengan uang recehan Rp9.950,00, maka uang senilai Rp50,00 tidak ada imbangnya, maka uang senilai Rp50,00 adalah riba.
3.        Dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’. Jika riba sudah mendarah daging pada seseorang, orang tersebut lebih suka beternak uang karena ternak uang akan mendapatkan keuntungan lebih besar daripada dagang dan dikerjakan tidak dengan susah payah. Seperti orang yang memiliki uang Rp1.000.000.000,00 cukup disimpan di bank dan ia memperoleh bunga sebesar 2% tiap bulan, maka orang tersebut memperoleh uang tanpa kerja keras setiap bulan dari bank tempat uang disimpan sebesar Rp20.000.000,00
4.        Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang-piutang atau menghilangkan faedah utang-piutang sehingga riba lebih cenderung memeras orang miskin dari pada menolong orang miskin.

C.     Persyaratan Menghindari Riba

Jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang,yaitu emas dan perak dengan yang sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah dan yang lainnya, maka disyaratkan:
1.      Sama nilainya (tamasul)
2.      Sama ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya maupun ukurannya
3.      Sama-sama tunai (taqabuth) di majelis akad.

D.     Macam-macam Riba

Ada empat macam jenis riba yaitu:

1.      Riba Fadhl

Riba al-Fadhl (riba jual beli) adalah penambahan dalam jual-beli barang yang sejenis (Adiwarman, 2004: 36). Riba ini terjadi apabila seseorang menjual sesuatu dengan sejenisnya dengan tambahan, seperti menjual emas dengan emas, mata uang dirham dengan dirham, gandum dengan gandum dan seterusnya.Misalnya, cincin emas 24 karat seberat 5 gram ditukar dengan emas 24 karat namun seberat 4 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.Lebih jelasnya dapat dilihat dari hadits riwayat Bukhari dan Muslim berikut:
Bilal datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa korma kualitas Barni (baik). Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, "Dari mana kurma itu?". Ia menjawab , "Kami punya kurma yang buruk lalu kami tukar beli dua liter dengan satu liter". Maka Rasulullah bersabda: "Masya Allah, itu juga adalah perbuatan riba. Jangan kau lakukan. Jika kamu mau membeli, juallah dahulu kurmamu itu kemudian kamu beli kurma yang kamu inginkan.

2.      Riba Qordh

Riba Qordh, adalah pinjam-meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp300.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp325.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.

3.      Riba Yad

Riba Yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad. Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar.

4.      Riba Nasi’ah

Riba an-Nasi'ah (riba utang piutang) adalah kelebihan (bunga) yang dikenakan pada orang yang berhutang oleh yang menghutangi pada awal transaksi atau karena penundaan pembayaran hutang (Adiwarman, 2004: 37). Riba nasi'ah ada dua jenis sebagai berikut:
a.        Meminjamkan/mengutangkan uang atau benda berharga lain. Bentuknya ada dua:
1)      Menetapkan tambahan (bunga) pada awal transaksi.
2)      Tidak menetapkan bunga di awal transaksi, akan tetapi saat tidak mampu melunasi utang pada saat yang ditentukan, maka membolehkan pembayaran ditunda asal dengan bunga.
b.      Membeli dengan menunda penerimaannya/tidak langsung saling terima. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, kemudian diserahkan setelah buah-buahan tersebut besar-besar atau setelah layak dipetik. Contoh lain, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah musim panen.

E.      Ayat Al-Quran tentang Riba

Dalam Al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat, diantaranya yaitu QS. Ar-Ruum:39, QS. An-Nisa:160, QS. Ali Imran:130 dan QS. Al-Baqarah:278, serta ayat lainnya pada surat yang sama.Tiga diantarannya turun setelah nabi hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang  di Makkah walaupun menggunakan kata riba (QS. Al-Rum (30) : 39) ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain. Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap. Adapun ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan masalah riba diantaranya sebagai berikut.

1.      Surat An-Nisa ayat 160-161

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160)
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah.(160) Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.(161)”
a.       Makna Mufradat QS. An-Nisa ayat 160-161
Lafadz yang terdapat dalam surat kedua Surat An-Nisa’ Ayat 160 dan 161 dalam masalah Riba yang telah disampaikan di atas terdapat beberapa kata diantaranya :
فَبِظُلْمٍ
maka disebabkan perbuatan zholim
وَأَخْذِهِمُالرِّبَا
dan disebabkan mereka mengambil atau memaksan riba
مِنَ الَّذِينَهَادُوا
orang-orang Yahudi
وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ
padahal sesungguhnya mereka telah melarang dari padanya
حَرَّمْنَا
kami haramkan
فَأُولَئِكَ
maka karena mereka
عَلَيْهِمْ
kepada orang Yahudi
وَأَكْلِهِمْ
mereka memakan
طَيِّبَاتٍ
yang baik-baik
 أَمْوَالَ النَّاسِ
harta benda manusia
أُحِلَّتْ
yang dulunya dihalalkan
 بِالْبَاطِلِ
dengan jalan bathil
لَهُمْ
bagi mereka orang Yahudi
وَأَعْتَدْنَا
kami telah menyediakan
وَبِصَدِّهِمْ
dan karena mereka menghalalkan
 لِلْكَافِرِينَ
untuk orang-orang yang kafir
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
dari Jalam Allah
 مِنْهُمْ
diantara mereka itu
كَثِيرًا
Banyak
 عَذَابًا أَلِيمًا 
siksaan yang pedih

Lafadz فَبِظُلْمٍ ini diwali dengan huruf Fa’ dan Ba’, kalau Fa’nya ini dalah hurf Athof pada lafadz sebelumnya. Adapun huruf Ba’nya merupakan Ba’ Sababiyah yang mempuyai arti sebab, dalam lafadz فَبِظُلْمٍ itu asalnya dari fiil madhi  ظلم yang mempunyai arti hal meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ketidakadilan, penganiayaan, penindasan dan tidak sewenang-wenang. Maka sebab kedholiman orang Yahudi tersebut, maka Allah mengharamkan sesuatu yang dulunya sesuatu itu baik.
b.      Asbabun Nuzul QS. An-Nisa Ayat 160-161
Periode kedua Allah SWT menurunkan ayat : Al Nisa’ Ayat 160-161. sebagaimana di atas.
Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat  ini  merupakan  kisah  tentang  orang-orang  Yahudi.  Allah  SWT mengharamkan   kepada   mereka   riba   akan   tetapi   mereka   tetap mengerjakan  perbuatan  ini.  Pengharaman  riba  pada  ayat  ini  adalah pengharaman  secara  tersirat  tidak  dalam  bentuk  qoth’i/tegas,  akan tetapi  berupa  kisah  pelajaran  dari  orang-orang  Yahudi  yang  telah diperintahkan kepada mereka untuk meninggalkan riba tetapi mereka mereka tetap melakukannya, hal ini juga dijelaskan al-Maroghi bahwasanya  sebagian  nabi-nabi  mereka  telah  melarang  melakukan perbuatan riba.
c.       Penjelasan QS. An-Nisa ayat 160-161
Dalam surat An-Nisa’ Ayat 160 dan 161 para Ulama Tafsir berpendapat bahwa:
Lafaz فَبِظُلْمٍمِنَ الَّذِينَ هَادُوا artinya disebabkan keaniayaan atas perbutan orang-orang Yahudi, حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍyakni yang tersebut dalam Firman-Nya, “Kami haramkan setiap yang berkuku. “sampai akhir ayat وَبِصَدِّهِمْyakni manusai عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ maksudnya agama-Nya كَثِيرًا . Juga dalam lafadz وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُini di utarakan dalam kitab Taurat وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِyakni dengan memberi suap dalam pengadilan وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًاyakni menyakitkan.
Menurut kami bahwa dalam tafsir ini disimpulkan bahwa:
1)      Riba merupakan salah satu perbuatan yang Bathil, termasuk sesuatu yang diharamkan oleh Alloh adalah sesuatu yang berkuku
2)      Riba telah jelas diharamkan oleh Alloh begitu juga dalam kitab Taurat
3)      Dan bagi orang yang Kafir sudah dipersiapkan oleh Allah tempat yang sesuai dengan perbuatannya yakni siksa yang pedih dan menyakitkan.
Pada ayat ini Allah menjelaskan kalau riba adalah pekerjaan yang batil, maka dari itu Allah juga menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa Allah sudah menyiapkan mereka azab yang pedih. Sebagian ulama’ berkata : Orang-orang yang menghalalkan riba serta besar dosanya, maka diapun akan tahu betapa keadaan mereka-mereka kelak di hari akhirat, merka akan dikumpulkan dalam keadaan gila, kekal di neraka, disamakan dengan orang kafir akan mendapat perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal dalam laknat.

2.      Surat Ali Imran ayat 130

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
a.       Makna Mufradat QS. Ali Imran ayat 130
Surat Ali Imron ayat 130 sebagaimana di atas terdapat kata-kata diantaranya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Hai orang-orang yang beriman
اللَّهَ
kepada Allah
لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
janganlah kamu memakan riba
لَعَلَّكُمْ
supaya kamu
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
dengan berlipat
 تُفْلِحُونَ
mendapat keberuntungan
وَاتَّقُوا
dan bertakwalah kamu

Lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواitu terdapat munada di dalamnya yakni lafadz  أيyang digunakan untuk munada yang mana sifatnya berupa isim mausul yang dipasang Al. juga bahwa lafadz diatas itu sudah kelaku dalam Kalam Arob, Dalam Al Fiyah Ibn Malik diutarakan dalam Nadhomyna :
وايها ذا ايها الذي ورد * ووصف اي بسوى هذا يرد
Kemudian dalam Lafadz selanjutnya terdapat huruf  لَاnahi yang mempunyai arti larangan pada lafadzأَضْعَافًا مُضَاعَفَةًتَأْكُلُوا الرِّبَاyakni larangan atau jangan kamu semua memakan harta riba dengan berlipat ganda.
b.      Asbabun Nuzul QS. Ali Imran ayat 130
Periode ketiga Allah SWT menurunkan Surat Al Imron ayat 130, dan Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat  ini  menjelaskan  kebiasaan  orang  Arab  saat  itu  yang  sering mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda.  Ayat  ini  telah  secara  jelas mengharamkan perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman pada ayat ini masih bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang  mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda dari modal. Riba ini disebut dengan riba keji, yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda.
Menurut Mujahid, orang Arab terbiasa melakukan transaksi jual-beli dengan jangka waktu (kredit). Jika waktu pembayaran tiba, mereka ingkar dan tidak mau membayar. Dengan demikian, bertambah besar bunganya, dan semakin pula bertambah jangka waktu pembayaran. Atas praktik tersebut, Allah menurunkan ayat tersebut.
c.       Penjelasan QS. Ali Imran ayat 130
Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli Tafsir menjelaskan bahwa lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواini yang dimaksud adalah kaum Sakif atau golongan manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz لَا تَأْكُلُوا الرِّبَاأَضْعَافًاini yang dimaksud adalah di dalam harta dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat yaitu مُضَاعَفَةًini maksudnya adala  الاجلmisi atau tujuan, kemudian dilanjutkan lagi dengan kata وَاتَّقُوا اللَّهَ  takutlah kamu semua orang Iman kepada Allah di dalam memakan sesuatu yang mengandung Riba.  لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَini dengan maksud supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka seksaan Allah.
Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali Imron ayat 130 ini kami simpulkan bahwa :
1)      Yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam,
2)      Peringatan untuk menjahui makan Riba,
3)      Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak mendapat murka dan siksa dari Allah.

3.        Surat Al-Baqarah Ayat 278-279

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
“Hai orang-orang yang  beriman, bertakwalah  kepada Allah  dan  tinggalkanlah  sisa-sisa  riba. jika  memang  kamu  orang  yang  beriman(278).  Jika  kamu  tidak melakukannya,   maka   terimalah   pernyataan   perang   dari Allah  dan  rasul  Nya  dan  jika  kalian  bertobat  maka  bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak  pula  dizalimi(279).”
a.       Makna Mufradat QS. Al-Baqarah ayat 278-279
Dalam Surat yang keempat dalam urutan surat di atas yaitu Surat Al-Baqorah ayat 278 dan 279. Lafadz yang terkandung di dalamnya yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Hai orang-orang yang  beriman
مِنَ اللَّهِ
dari Allah 
اتَّقُوا اللَّهَ
bertakwalah  kepada Allah
وَرَسُولِهِ
dan  dari rasul  Nya 
وَذَرُوا مَا بَقِيَ
dan  tinggalkanlah  sisa-sisa 
وَإِنْ تُبْتُمْ
dan  jika  kalian  bertobat
مِنَ الرِّبَا
Riba
فَلَكُمْ
maka  bagi kalian
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
jika  memang  kamu  orang  yang  beriman
رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ
adalah modal-modal
 فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
Jika  kamu  tidak melakukannya
لَا تَظْلِمُونَ
kalian tidak berbuat zalim
فَأْذَنُوا
maka   terimalah 
وَلَا تُظْلَمُونَ
dan tidak  pula  dizalimi
بِحَرْبٍ
pernyataan   perang  
b.      Asbabun Nuzul QS. Al-Baqarah ayat 278-279
Periode  terakhir  adalah  periode  pengharaman  mutlak,  yaitu Surat Al Baqarah ayat 278 s/d 279.Ada  beberapa riwayat tentang riba  yang  menjadi  sebab-sebab turunnya ayat tentang riba, diantaranya:
1)      Riwayat  dari  Ibnu  Abbas  mengatakan  bahwa  ayat  ini  turun kepada  Bani  Amru  bin  Umair  bin  Auf  bin  Tsaqif.  Adalah  Bani Mughirah  bin  Makhzum  mengambil  riba  dari  Bani  Amru  bin  Umair bin  Auf  bin  Tsaqif,  selanjutnya  mereka  melaporkan  hal  tersebut kepada Rasulullah SAW dan beliau melarang mereka melalui ayat ini untuk mengambil riba.
2)      Berkata ‘Atho dan ‘Ikrimah  bahwasanya  ayat  ini  diturunkan kepada  Abbas  bin  Abdul  Mutholib  dan  Utsman  bin  Affan.  Adalah Rasulullah melarang keduanya untuk mengambil riba dari korma yang dipinjamkan  dan  Allah  SWT  menurunkan  ayat  ini  kepada  mereka, setelah mereka mendengar ayat ini mereka mengambil modal mereka saja tanpa mengambil ribanya.
3)      Berkata  Sadi:  Ayat  ini  diturunkan  kepada  Abbas  dan  Khalid bin Walid. Mereka melakukan kerjasama pada masa Jahiliyah. Mereka meminjamkan  uang  kepada  orang-orang  dari  Bani  Tsaqif.  Ketika Islam  datang  mereka  memiliki  harta  berlimpah  yang  berasal  dari usaha riba, maka Allah menurunkan ayat ini.
c.       Penjelasan QS. Al-Baqarah ayat 278-279
Ayat ini adalah sebuah perintah, tetapi perintahnya adalah  untuk  meninggalkan.  Di  dalam  ushul  fiqih  larangan  terhadap sesuatu  adalah  berarti  perintah  untuk  berhenti  mengerjakan  sesuatu tersebut.  Dalam  hal  ini  larangan  untuk  mengerjakan  riba  berarti perintah untuk berhenti mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharaman.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa keharaman riba adalah jika  dilakukan  dengan  berlipat  ganda  sebagaimana  ayat  di  atas  yang menyebutkan  larangan  untuk  tidak  memakan  riba  dengan  berlipat ganda.    Menjawab    hal    tersebut    bahwa    sesungguhnya    lafadz أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً  adalah  bukan  menunjukkan  bahwa  larangan  ini berlaku hanya kepada riba yang diambil dengan berlipat ganda, akan tetapi  ayat  ini  hanya  menggambarkan  bahwa  keadaan  ketika  ayat tersebut  diturunkan  bahwa  masyarakat  Arab  ketika  itu  benar-benar melakukan  perbuatan  tercela  dengan  mengambil  riba  yang  berlipat ganda.  Turunnya  ayat  ini  adalah  fase  ketika  dari  turunnya  larangan riba  yang  secara  bertahap.  Artinya  larangan  sampai  fase  yang  ketiga ini  hanya  bersifat  larangan  terbatas  (juz’i),  akan  tetapi  selanjutnya setelah turun ayat untuk fase keempat secara  jelas disebutkan  bahwa riba itu secara keseluruhan adalah haram. Haramnya riba adalah baik untuk yang sedikit maupun untuk yang banyak, baik yang mengambil keuntungan  dengan  riba  itu  yang  berlipat  ganda  maupun  yang  tidak berlipat  ganda.  Seperti  pengharaman  khomar,  bahwa  khomar  sedikit maupun banyaknya adalah haram, demikian juga dengan riba. Seperti khomar  yang  merupakan  salah  satu  budaya  dari  masyarakat  Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian dari budaya masyarakat Arab yang sangat  kuat,  oleh  karena  itu  Allah  SWT  dalam  pengharaman  riba menurunkannya  secara  bertahap  sama  seperti  pengharaman  khomar yang juga bertahap.

F.      Hadits Rasul yang Membahas tentang Riba

Beberapa hadits Rasul yang membahas tentang Riba adalah sebagai berikut:

1.      Shahih Bukhari Nomor 1941

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami IbnuAbu Dza'bi telah menceritakan kepada kami Sa'id Al Maqbariy dari Abu Hurairah radliallahu 'anhudari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh pasti akan datang suatu zaman pada manusiayang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram”.
Hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Darimi :
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَبِي حُرَّةَ الرَّقَاشِيِّ عَنْ عَمِّهِ قَالَ كُنْتُ آخِذًا بِزِمَامِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَذُودُ النَّاسَ عَنْهُ فَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ أَلَا وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ قَضَى أَنَّ أَوَّلَ رِبًا يُوضَعُ رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Ketahuilah sesungguhnya Allah telah memutuskan bahwa riba pertama yg dibatalkan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib, yaitu bagi kalian modal harta kalian, kalian tak menzhalimi & tak dizhalimi.” (Darimi – 2422)
Dan firman Allah yang menjelaskan tentang keadaan kaum Yahudi yang menggunakan sistem riba pada masa itu yaitu pada surat An-Nisa’ : 160 – 161
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160)
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Disini bisa dilihat bahwa sistem riba digunakan karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang yang halal dan yang haram. Mereka hanya memikirkan keuntungan tanpa tahu sebab akibatnya. Sampai-sampai yang halal dianggap haram, dan yang haram dianggap halal.

2.        Hadits lain tentang Riba

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)
“Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah dan Zuhairu ibn harb dan Utsman ibn abi syaibah mereka berkata diceritakan Husyaim dikabarkan Abu zubair dari Jabir r.a beliau berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba, wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka itu sama-sama dikutuk.”(HR.Muslim)

وَلِلْبُخَارِيِّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي جُحَيْفَةَ
“Bukhari juga meriwayatkan hadits semisal dari Abu Juhaifah.”
Dalam suatu riwayat telah dipaparkan, beliau telah mengutuk seorang saksi dengan mufrad  (tunggal) karena dikehendaki jenisnya. Lalu juga kamu katakan hadits yang artinya: “Ya Allah apa-apa yang saya kutuk, jadikanlah dia sebagai rahmat, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan dalam matan lain  ”apa yang saya kutuk maka memberatkan orang yang saya kutuk itu “, menunjukan keharamannya. Dan tidaklah dimaksudkann do’a yang sebenarnya yang membahayakan orang beliau do’akan.”
Itu jika orang yang dikutuk tersebut bukan yang melakkukan perbuatan yang diharamkan dan tahu kutukan itu dalam keadaan Rasulullah marah.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عن النبي ص.م: الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه وان اربى الربا عرض الرجل المسلم
(رواه ابن ماجه فحتصر والحاكم بتمامه وصجيح)

“Dari Abdullah bin mas’ud r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda: Riba itu ada 73 pintu. Yang paling ringan diantarannya ialah seperti seseorang laki-laki yang menikahi ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak kehormatan seorang muslim. (diriwayatkan oleh ibnu majah dengan rigkas dan olah al-hakim selengkapnya dan beliau menilainya sahih.”
Adapun yang semakna dengan hadits tersebut terdapat beberapa Hadits. Telah ditafsirkan riba dalam hal merusak nama baik atau merusak kehomatan seorang muslim sama saling mencaci maki.
Dalam Hadits tersebut disebutkan bahwa riba itu bersifat mutlak terhadap perbuatan yang diharamkan, sekalipun bukan termasuk dalam bab ribayang terkenal itu. Penyamaan riba yang paling ringan dengan seseora ng yang berzina dengan ibunya seperti sudah disebutkan tadi karena dalam perbuatan riba itu terdapat tindasan yang menjijikkan akal yang  normal.
عن ابي سعيد الخدرى رضى الله عنه ان رسول الله ص.م قال لاتبعوا الذهب الا مثل ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبعوا الورق با لورق الا مثلا بمثل, ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبيعوا منها غائبا بناخر (متفق عليه)
“Dari abi Said al-khudari r.a ( katanya): sesungguhnya Rasulullah bersabda :Jangnanlah kamu menjual dengan emas kecuali yang sama nilainya, dan janganlah kamu menjual uang dengan uang kecuali yang sama nilainnya, dan jangganlah  kamu menambah  sebagian atas sebagiannya, dan jannganlah kammu menjual yang tidak kelihatan diantara dengan yang nampak.” (muttafaq Alaihih).
Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukan pengharaman jual emas dengan emas, dan perak dengan perak yang lebih kurang (yang tidak sama nilainya) baik yang satu ada di tempat jual beli dan yang lain tidak ada ditempat penjualan berdasarkann sabdanya “kecuali sama nilaiya”. Sesungguhnya dikecualikan dari itu dalam hal-hal yang paling umum, seakan-akan beliau bersabda: janganlah kamu jual- belikan emas dan perak itu dalam keadaan yang bagaimanapu, kecuali dalam keadaan yang sama nilainya ataupun harganya emas dan perak itu sendiri.

G.     Dampak Bertransaksi Riba

Syari’at islam tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa kepada kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang dari sesuatu yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat. Demikian juga larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia.
1.        Sebagai bentuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda:
“Setiap umatku dijamin masuk surga kecuali yang enggan.” Para shahabat bertanya, “Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah?.” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang ta’at kepadaku pasti masuk syurga dan barangsiapa yang berbuat maksiat (tidak ta’at) kepadaku itulah orang yang enggan (masuk surga).” (HR.Al-Bukhari)
2.        Ibadah haji, shadaqah dan infak dalam bentuk apapun dari harta riba tidak diterima oleh Allah kalau berasal dari hasil riba, Rasulullah bersabda dalam hadits yang shahih:
“Sesunguhnya Allah itu baik dan Dia tidak menerima kecuali dari hasil yang baik.”
3.      Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengabulkan doa orang yang memakan riba, Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
“Ada seorang yang menengadahkan tangannya ke langit berdo’a, “Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara makanannya haram, pakaiannya haram, dan daging yang tumbuh dari hasil yang haram, maka bagaimana mungkin do’anya dikabulkan.” (HR.Muslim)
4.      Hilangnya keberkahan umur dan membuat pelakunya melarat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Tidaklah seseorang memperbanyak harta kekayaan dari hasil riba, melainkan berakibat pada kebangkrutan dan melarat.” (HR.Ahmad dan Ibnu Majah dan dishohihkan al-Albani)
5.      Memakan riba menjadi sebab utama su`ul khatimah, karana riba ini merupakan bentuk kezaliman yang menyengsarakan orang lain, dengan cara menghisap “darah dan keringat” pihak peminjam, itulah yang disebut rentenir atau lintah darat. Pemakan riba akan bangkit di hari Kiamat kelak seperti orang gila dan kesurupan. Ayat yang menyebutkan tentang hal ini, menurut Syaikh Muhammad al-Utsaimin memiliki dua pengertian, yakni di dunia dan di hari Kiamat kelak. Beliau menjelaskan bahwa jika ayat itu mengandungi dua makna, maka dapat diartikan dengan keduanya secara bersamaan. Yakni mereka di dunia seperti orang gila dan kesurupan serta bertingkah laku seperti orang kerasukan syaitan (tidak peduli dan mementingkan diri). Demikian pula di akhirat mereka bangun dari kubur juga dalam keadaan seperti itu. Sedangkan mengenai ayat, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah,” maka beliau mengatakan kehancuran materi (hakiki) dan maknawi. Kehancuran materi seperti tertimpa bencana dalam hartanya hingga habis.
Demikian juga riba berbahaya untuk masyarakat dan umat umumnya, diantaranya adalah:
1.        Berbahaya bagi akhlak dan kejiwaan manusia.
Didapatkan orang yang bermuamalah ribawi adalah orang yang memiliki tabi’at bakhil, sempit, hati yang keras dan menyembah harta serta yang lain-lainnya dari sifat-sifat rendahan. Bila melihat kepada aturan dan system riba didapatkan hal itu menyelisihi akhlak yang luhur dan menghancurkan karekteristik pembentukan masyarakat Islam. Sistem ini mencabut dari hati seseorang perasaan sayang dan rahmat terhadap saudaranya. Lihatlah kreditor (pemilik harta) senantiasa menunggu dan mencari-cari serta berharap kesusahan menimpa orang lain sehingga dapat mengambil hutang darinya. Tentunya hal ini menampakkan kekerasan, tidak adanya rasa sayang dan penyembahan terhadap harta. Hingga tampak sekali Muraabi (pemberi pinjaman ribawi) seakan-akan melepas pakaian kemanusiaannya, sikap persaudaraan dan kerja sama saling tolong menolong.
Riba tidak akan didapatkan pada seorang yang berlomba-lomba dalam kebaikan dan infaq, sedekah, berbuat baikpun tidak ada pada masyarakat ribawi. Hal ini karena pelaku ribawi (Muraabi) mencari celah kebutuhan manusia dan memakan harta mereka dengan batil. Ini merupakan dosa besar yang telah diperingatkan Allah dan Rasul-Nya. Diantara dalil adalah ayat-ayat riba selalu didahului atau diikuti dengan ayat-ayat anjuran berinfak dan sedekah.
2.      Bahaya dalam kemasyarakatan dan sosial.
Riba memiliki implikasi buruk terhadap social kemasyarakatan, karena masyarakat yang bermuamalah dengan riba tidak akan terjadi adanya saling bantu-membantu dan seandainya adapun karena berharap sesuatu dibaliknya sehingga kalangan orang kaya akan berlawanan dan menganiaya yang tidak punya. Kemudian dapat menumbuhkan kedengkian dan kebencian dimasing-masing individu masyarakat. Demikian juga menjadi sebab tersebarnya kejahatan dan penyakit jiwa. Hal ini disebabkan karena individu masyarakat yang bermuamalah dengan riba bermuamalah dengan system menang sendiri dan tidak membantu yang lainnya kecuali dengan imbalan keuntungan tertentu, sehingga kesulitan dan kesempitan orang lain menjadi kesempatan emas dan peluang bagi yang kaya untuk mengembangkan hartanya dan mengambil manfaat sesuai hitungannya. Tentunya ini akan memutus dan menghilangkan persaudaraan dan sifat gotong royong dan menimbulkan kebencian dan permusuhan diantara mereka.
Seorang dokter ahli penyakit dalam bernama dr. Abdulaziz Ismail dalam kitabnya berjudul Islam wa al-Thib al-Hadits (Islam dan kedokteran modern) menyatakan bahwa Riba adalah sebab dalam banyaknya penyakit jantung.
Sistem riba menjadi sebab utama kehancuran negara dan bangsa.Realiti menjadi saksi bahwa negara kita kini mengalami krisis ekonomi dan keadilan yang tidak stabil karana penerapan sistem riba, ini disebabkan para petualang riba memindahkan simpanan kekayaan mereka ke negara-negara yang memiliki ekonomi kuat untuk memperoleh bunga riba tanpa memikirkan maslahat di dalam negeri sendiri, sehingga negara kini mengalami pertumbuhan yang lembab.
Pengembangan kewangan dan ekonomi dengan sistem riba merupakan penjajahan ekonomi secara sistematik dan diselubungi oleh negara-negara pemilik modal, dengan cara pemberian pinjaman lunak. Ini akan menyebabkan hilangnya atau lenyap bangsa kita untuk menopoli ekonomi negara sendiri.
3.      Bahaya terhadap perekonomian.
Krisis ekonomi yang menimpa dunia ini bersumber secara umum kepada hutang-hutang riba yang berlipat-lipat pada banyak perusahaan besar dan kecil. Lalu banyak Negara modern mengetahui hal itu sehingga mereka membatasi persentase bunga ribawi. Namun hal itu tidak menghapus bahaya riba. Sudah dimaklumi bahwa maslahat dunia ini tidak akan teratur dan baik kecuali –setelah izin Allah- dengan perniagaan, keahlian, industri dan pengembangan harta dalam proyek-proyek umum yang bermanfaat, karena dengan demikian harta akan keluar dari pemiliknya dan berputar. Dengan berputarnya harta tersebut maka sejumlah umat ini dapat mengambil manfaat, sehingga terwujudlah kemakmuran. Padahal Muraabi duduk dan tidak melakukan usaha mengembangkan fungsi hartanya untuk kemanfaatan orang lain
Riba juga menjadi sarana colonial (penjajahan). Telah dimaklumi bahwa perang ekonomi dibangun diatas mu’amalah riba. Cara pembuka yang efektif untuk penjajahan yang membuat runtuh banyak Negara timur adalah dengan riba. Ketika Pemerintah Negara timur berhutang dengan riba dan membuka pintu bagi para muraabi asing maka tidak lama kemudian dalam hitungan tahun tidak terasa kekayaan mereka telah berpindah dari tangan warga Negaranya ke tangan orang-orang asing tersebut, hingga ketika pemerintah tersebut sadar dan ingin melepas diri dan hartanya, maka orang-orang asing tersebut meminta campur tangan negaranya dengan nama menjaga hak dan kepentingannya. Oleh karena itu pantaslah bila Rasululloh n bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”
Melihat bahaya dan impilkasi buruk riba ini, maka sudah menjadi satu kewajiban bagi kita untuk mengetahui hakekat Riba, agar tidak terjerumus padanya.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari hasil pembahasan mengenaiAyat dan Hadits tentang Riba, maka terdapat beberapa hal yang menjadi kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
·          Pertama, Riba secara bahasa bermakna :  Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam.
·          Kedua, di dalam Al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat, diantaranya yaitu QS. Ar-Ruum:39, QS. An-Nisa:160, QS. Ali Imran:130 dan QS. Al-Baqarah:278, serta ayat lainnya pada surat yang sama. Berdasarkan ayat-ayat al-Quran tentang riba yang telah dibahas, kami menyimpulkan bahwa ayat di atas itu disampaikan dengan cara bertahap-tahap mulai dari sesuatu yang dikabarkan tentang bahayanya yang akhirnya diharamkannya. Maka kita sebagai manusia yang beriman kepada Ayat Allah harus berusaha menjahui riba lebih-lebih tahu mana sesuatu yang riba dengan sesuatu yang tidak riba. Hadits-hadits Rasul mengenai Riba sangatlah banyak, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, oleh Bukhari dan Muslim, serta masih banyak yang lainnya. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan diperkuat oleh Bukhari, sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (مسلم)
“Dikatakan Muhammad ibn ash-shobbah dan Zuhairu ibn harb dan Utsman ibn abi syaibah mereka berkata diceritakan Husyaim dikabarkan Abu zubair dari Jabir r.a beliau berkata : Rasulullah SAW mengutuk makan riba, wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya dan beliau mengatakan mereka itu sama-sama dikutuk.”(HR.Muslim)
·          Ketiga, secara umum riba dibedakan menjadi empat macam, yaitu riba Fadhli, riba Qordhi, riba Yad, dan riba Nasi’ah. Perbedaan khasnya, riba nasi'ah adalah jual beli barang yang sama jenisnya tapi tidak secara kontan. Sedangkan riba fadhl adalah jual beli barang dengan kelebihan atau hutang piutang dengan bunga. Ulama sepakat atas keharaman riba nasi'ah. Sementara terjadi ikhtilaf (beda pendapat) atas keharaman riba fadhl, tapi mayoritas mengharamkannya.
·          Keempat, riba memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia. Diantaranya ibadah haji, shadaqah dan infak dalam bentuk apapun dari harta riba tidak diterima oleh Allah kalau berasal dari hasil riba, hilangnya keberkahan umur dan membuat pelakunya melarat, dan sebagainya.

B.      Saran

Selama proses penulisan makalah ini, kami selaku penulis mengharapkan makalah ini dapat mengajak seluruh pembaca untuk lebih memahami tentang riba melalui pemahaman ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasul..
Dalam penulisan makalah ini, kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang menyebabkan makalah ini jauh dari kesempurnaan yang diharapkan. Oleh karena itu, kami mengharap sumbang kritik dan saran yang membangun yang nantinya bermanfaat bagi penulis sendiri maupun seluruh pembaca.
Wallauhu A’lam


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid. Hlm 48.
Karim, Adiwarman. 2004. BANK ISLAM: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Kasmir. 1998. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Maslani dan Hasbiyallah. 2009. Masail Fiqhiyah al-Haditsyah: Fiqh Kontemporer. Bandung: Sega Arsy
Machmud, Amir dan Rukmana. 2009. BANK SYARIAH: Teori, Kebijakan, dan StudiEmpiris di Indonesia. Bandung: Penerbit Erlangga.
Muhammad Hudri. 1988. UshuL Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr.
Rivai, Veithzal dan Arviyan. 2010. ISLAMIC BANKING: Sebuah Teori, Konsep,Dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Uma, Mizan, Bandung. Cet. I. Tth.
Suhendi Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Umam, Khaerul. 2013. Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: CV. Putaka Setia.

http://alquran-sunnah.com/kitab/bulughul-maram/index.html (BabJualBeli – BabRiba) [diakses: 27 Oktober 2015]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar